Untuk mewujudkan suatu bentuk persaudaraan yang kekal dan abadi, minimal harus didukung oleh tiga unsur.
1.rasa saling sayang menyayangi.
2.Kedua rasa saling hormat-menghormati.
1.rasa saling sayang menyayangi.
2.Kedua rasa saling hormat-menghormati.
3.dan ini yang harus lebih di prioritaskan, adalah adanya sikap saling bertanggung jawab, jujur dan senantiasa menekankan keterbukaan dalam menghadapi setiap persoalan.
Lalu bagaimanakah agar ketiga unsur pendukung tersebut bisa terwujud? Jawabannya mudah, ringkas, dan jelas. Yakni bahwa subjek dari pengemban persaudaraan itu harus saling memahami hakikat persaudaraan yang kekal dan abadi. Kemudian berusaha mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Satu kalimat yang mudah diucapkan, gampang dihafal, indah didengar, tapi sulit untuk dilaksanakan. Satu ungkapan yang sering digembar-gemborkan, bahkan tidak jarang menjadi sebuah selogan tapi nyatanya sedikit orang yang menjalankannya.
Apakah sebenarnya hakikat dari persaudaraan itu.? Secara “kodrati” semua mahluk yang ada dimuka bumi ini, pada pokoknya terikat pada satu nasip, bersaudara. Yakni sebuah nasib yang menempatkan manusia besama mahluk-mahluk lain menjadi senasib sepenanggungan. Sebab, pada dasarnya asal manusia dari manusia dan mahluk adalah satu, ialah “Al-Khalik”, Sang Pencipta (Tuhan Seru Sekalian Alam). Terlebih untuk mahluk yang bernama manusia, yang jelas berasal dari satu “garba”, yakni Ibu Hawa dan Bapak Adam.
Sedangkan bila di tinjau dari sudut etimologi: kata “Persaudaraan” berasal dari bahasa Sankrit. “Sa-udara” mendapat imbuhan “per-an” yang berarti hal bersaudara atau tentang tata cara menggolong ikatan yang kokoh sebagai jelmaan “sa (satu)”, udara (perut) atau kandungan. Ibarat manusia dilahirkan dari satu kandungan (perut) maka mereka harus dapat bersatu padu secara tulus, dan selalu ingat akan awal mulanya, (eling marang dalane).
Sementara jika di tinjau dari susunan katanya, kata persaudaraan terdiri atas kata dasar “saudara” yang mendapatkan prefik per- dan sufik-an. Dan jika ditinjau dari nosi, konflik per-an pada kata “persaudaraan” berarti membentuk kata tersebut menjadi sebuah kata yang abstrak. Akhirnya , persaudaraan itu sendiri adalah abstrak adanya. Dan dapat dirasakan oleh orang yang menjalankannya. Selebihnya hanya dapat dilihat dari sikap yang tadi tampilkan seseorang terhadap orang lain.
Menjalin persaudaraan, sekalipun abstrak, sebenarnya tidaklah begitu sulit. Tatapi juga tidak dapat dikatakan mudah. Menjalin persaudaraan akan sangat mudah jika persaudaraan itu bersifat sementara, sekedar pamrih yang disebabkan oleh dan karena sesuatu hal.maka dengan sendirinya persaudaraan tersebut tidak kekal adanya. Dan sebalaiknya, menjalin persaudaraan sejati, persaudaraan kekal dan abadi, persaudaraan yang pamrih dan tidak disebabkan oleh atau karena apapun, dibutuhkan pengahayatan yang tinggi disamping kesabaran dan waktu yang relatif panjang.
Persaudaraan yang bersifat sementara karena pamrih, dapat kita ambil contoh dari gambaran berikut. Seseorang yang memiliki banyak uang suat hari ingin mendapatkan sejumlah besar teman, atau kawan atau saudara yang banyak. Ia pergi kesebuah pasar membawa dan membagi-bagikan uangnya kepada setiap orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Dan orang-orang dipasar , demi memperoleh sejumlah rupiah, praktis orang menyukai orang yang membagi-bagikan uang tersebut. Maka dengan sendirinya menjadi seorang kawan atau saudara secara spontanitas. Dapat dibayangkan, betapa banyak saudara yang membagikan uang tersebut, yakni sebanyak orang yang berada di pasar.
Esok harinya, ia lakukan persis seperti kemarin. Orang –orang yang baru tahu pun segera mengerubutinya, kemudian mengelu-elukannya sebagai saudara. Iapun semakin bangga dan merasa dirinya menjelma sebagai raja.
Ketika ia pergi kepasar lagi, ketika orang-orang pun segera berlarian mengerumuninya, ia tidak lagi memberi uang pada mereka. Alhasil, pandangan orang-orang itu mulai minor. Lambat laun mulai mencibir, mereka menuduh orang itu pelit, karena tidak mau membagi-bagian uangnya lagi. Mereka tidak mau tahu bahwa orang tersebut telah ludes. Habis dibagi-bagikan. Dan serempak segera saja meraka tidak menyukai orang itu. Dan persaudaraan diantara merekapun, terhenti sampai saat di situ. Itulah sekelumit gambaran persaudaraan semu, persaudaraan penuh kamulfase, persaudaraan bersifat fatamorgana, yang sedapat mungkin harus kita hindari jauh-jauh. Sebab bila tidak, ini akan sangat berbahaya, mengingat persaudaraan merupakan prinsip dasar yang mutlak diperlukan dalam PSHT.
Oleh Tarmadji Budi Harsono S.E
Lalu bagaimanakah agar ketiga unsur pendukung tersebut bisa terwujud? Jawabannya mudah, ringkas, dan jelas. Yakni bahwa subjek dari pengemban persaudaraan itu harus saling memahami hakikat persaudaraan yang kekal dan abadi. Kemudian berusaha mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Satu kalimat yang mudah diucapkan, gampang dihafal, indah didengar, tapi sulit untuk dilaksanakan. Satu ungkapan yang sering digembar-gemborkan, bahkan tidak jarang menjadi sebuah selogan tapi nyatanya sedikit orang yang menjalankannya.
Apakah sebenarnya hakikat dari persaudaraan itu.? Secara “kodrati” semua mahluk yang ada dimuka bumi ini, pada pokoknya terikat pada satu nasip, bersaudara. Yakni sebuah nasib yang menempatkan manusia besama mahluk-mahluk lain menjadi senasib sepenanggungan. Sebab, pada dasarnya asal manusia dari manusia dan mahluk adalah satu, ialah “Al-Khalik”, Sang Pencipta (Tuhan Seru Sekalian Alam). Terlebih untuk mahluk yang bernama manusia, yang jelas berasal dari satu “garba”, yakni Ibu Hawa dan Bapak Adam.
Sedangkan bila di tinjau dari sudut etimologi: kata “Persaudaraan” berasal dari bahasa Sankrit. “Sa-udara” mendapat imbuhan “per-an” yang berarti hal bersaudara atau tentang tata cara menggolong ikatan yang kokoh sebagai jelmaan “sa (satu)”, udara (perut) atau kandungan. Ibarat manusia dilahirkan dari satu kandungan (perut) maka mereka harus dapat bersatu padu secara tulus, dan selalu ingat akan awal mulanya, (eling marang dalane).
Sementara jika di tinjau dari susunan katanya, kata persaudaraan terdiri atas kata dasar “saudara” yang mendapatkan prefik per- dan sufik-an. Dan jika ditinjau dari nosi, konflik per-an pada kata “persaudaraan” berarti membentuk kata tersebut menjadi sebuah kata yang abstrak. Akhirnya , persaudaraan itu sendiri adalah abstrak adanya. Dan dapat dirasakan oleh orang yang menjalankannya. Selebihnya hanya dapat dilihat dari sikap yang tadi tampilkan seseorang terhadap orang lain.
Menjalin persaudaraan, sekalipun abstrak, sebenarnya tidaklah begitu sulit. Tatapi juga tidak dapat dikatakan mudah. Menjalin persaudaraan akan sangat mudah jika persaudaraan itu bersifat sementara, sekedar pamrih yang disebabkan oleh dan karena sesuatu hal.maka dengan sendirinya persaudaraan tersebut tidak kekal adanya. Dan sebalaiknya, menjalin persaudaraan sejati, persaudaraan kekal dan abadi, persaudaraan yang pamrih dan tidak disebabkan oleh atau karena apapun, dibutuhkan pengahayatan yang tinggi disamping kesabaran dan waktu yang relatif panjang.
Persaudaraan yang bersifat sementara karena pamrih, dapat kita ambil contoh dari gambaran berikut. Seseorang yang memiliki banyak uang suat hari ingin mendapatkan sejumlah besar teman, atau kawan atau saudara yang banyak. Ia pergi kesebuah pasar membawa dan membagi-bagikan uangnya kepada setiap orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Dan orang-orang dipasar , demi memperoleh sejumlah rupiah, praktis orang menyukai orang yang membagi-bagikan uang tersebut. Maka dengan sendirinya menjadi seorang kawan atau saudara secara spontanitas. Dapat dibayangkan, betapa banyak saudara yang membagikan uang tersebut, yakni sebanyak orang yang berada di pasar.
Esok harinya, ia lakukan persis seperti kemarin. Orang –orang yang baru tahu pun segera mengerubutinya, kemudian mengelu-elukannya sebagai saudara. Iapun semakin bangga dan merasa dirinya menjelma sebagai raja.
Ketika ia pergi kepasar lagi, ketika orang-orang pun segera berlarian mengerumuninya, ia tidak lagi memberi uang pada mereka. Alhasil, pandangan orang-orang itu mulai minor. Lambat laun mulai mencibir, mereka menuduh orang itu pelit, karena tidak mau membagi-bagian uangnya lagi. Mereka tidak mau tahu bahwa orang tersebut telah ludes. Habis dibagi-bagikan. Dan serempak segera saja meraka tidak menyukai orang itu. Dan persaudaraan diantara merekapun, terhenti sampai saat di situ. Itulah sekelumit gambaran persaudaraan semu, persaudaraan penuh kamulfase, persaudaraan bersifat fatamorgana, yang sedapat mungkin harus kita hindari jauh-jauh. Sebab bila tidak, ini akan sangat berbahaya, mengingat persaudaraan merupakan prinsip dasar yang mutlak diperlukan dalam PSHT.
Oleh Tarmadji Budi Harsono S.E
Post a Comment